Penertiban Timah: Tegas pada Mafia, Wajib Humanis pada Rakyat

Oleh: Ujang Supriyanto (Ketua Simpul Babel & Karang Taruna Kabupaten Bangka)

DAERAH9 Dilihat

Pangkalpinang, kejarberita-news.com – Tambang timah di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi berkah ekonomi yang menopang kehidupan masyarakat, sekaligus menyumbang devisa bagi negara. Namun di sisi lain, ia juga menghadirkan petaka: kerusakan lingkungan, kecelakaan Tambang, ketidakpastian hukum, hingga konflik sosial yang berulang.

Baru-baru ini, Gubernur Babel memberikan pesan kepada PT Timah Tbk dalam mengerahkan *Satgas Tambang* agar bertindak tegas namun Wajib tetap humanis. Pesan ini sederhana, tetapi sesungguhnya sarat makna. Ia menegaskan bahwa penertiban tambang tidak cukup hanya berbasis kekuasaan, melainkan juga harus menimbang aspek sosial-ekonomi masyarakat yang terlibat.

*Mengurai Masalah Tambang Ilegal*

Fenomena tambang ilegal di Babel bukanlah gejala baru. Ia sudah berlangsung puluhan tahun, menjadi semacam “subkultur ekonomi” bagi masyarakat. Data riset akademik menunjukkan bahwa ribuan keluarga di Bangka dan Belitung menggantungkan hidup dari aktivitas penambangan rakyat.

Namun label “ilegal” muncul karena mereka beroperasi di luar izin resmi, tanpa standar lingkungan yang memadai. Akibatnya, kerusakan ekologis kian parah: hutan gundul, lubang tambang menganga, pesisir terkikis, bahkan ekosistem laut terganggu akibat sedimentasi. Negara pun kehilangan potensi pendapatan yang sangat besar.

Di sinilah letak dilema: menertibkan tambang ilegal memang perlu, tetapi jika dilakukan secara kaku dan keras tanpa solusi, maka yang terdampak langsung justru masyarakat kecil. Ironisnya, praktik-praktik ilegal yang melibatkan aktor besar atau jaringan pemodal kerap lolos dari jerat hukum.

*Satgas: Harapan atau Ancaman?*

Kehadiran Satgas Tambang bisa menjadi peluang, tetapi juga risiko. Peluangnya: Satgas dapat menjadi instrumen tegas untuk menghentikan aktivitas ilegal yang merusak. Risikonya: Satgas hanya akan dipersepsikan sebagai “alat represif” yang menekan penambang kecil, sementara mafia tambang tetap leluasa.

Inilah mengapa pesan Gubernur Babel penting: Satgas harus tegas kepada aktor besar, namun tetap humanis kepada masyarakat. Tegas berarti berani menyentuh “pemain besar” yang mengatur rantai pasok tambang ilegal, bukan sekadar menyasar pekerja atau Masyarakat kecil di lapangan. Humanis berarti menyadari bahwa penambang rakyat adalah bagian dari warga yang hakikatnya sedang mencari penghidupan, bukan kriminal yang patut dimusnahkan.

*Transformasi, Bukan Sekadar Operasi*

Masalah tambang di Babel tidak bisa selesai hanya dengan operasi penertiban. Operasi bersifat reaktif dan jangka pendek. Setelah Satgas pergi, tambang ilegal akan kembali bermunculan. Karena itu, Babel membutuhkan transformasi sistemik.

*Ada tiga langkah yang mendesak dilakukan:*

1. Legalitas Penambang Rakyat
Rakyat harus diberi ruang legal untuk menambang dalam skala kecil dengan standar lingkungan yang jelas. Dengan legalitas, negara tetap mendapat pemasukan, masyarakat terlindungi, dan lingkungan bisa lebih terkontrol.

2. Reformasi Tata Niaga Timah
PT Timah sebagai BUMN strategis harus membuka tata kelola yang transparan. Rantai distribusi timah dari hulu hingga hilir harus bebas dari praktik rente dan kartel. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menjadi “buruh tambang”, tetapi juga bagian dari rantai ekonomi yang sah.

3. Diversifikasi Ekonomi Babel
Ketergantungan berlebihan pada timah adalah jebakan. Babel harus mulai membangun sektor alternatif: perikanan, pariwisata, pertanian modern, dan industri kreatif. Transformasi ekonomi inilah yang akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada tambang ilegal.

*Tanggung Jawab PT Timah*

PT Timah tidak bisa hanya dipandang sebagai perusahaan pencetak dividen bagi negara. Ia memiliki tanggung jawab sosial dan moral. Sebagai BUMN strategis, PT Timah harus menjadi pionir dalam menciptakan tata kelola pertambangan yang berkeadilan.

Transparansi kemitraan, program pemberdayaan masyarakat, serta investasi pada pemulihan lingkungan harus menjadi bagian integral dari bisnis perusahaan. Jika PT Timah gagal memainkan peran ini, maka perusahaan akan terus dipersepsikan jauh dari rakyat, hanya hadir ketika menertibkan, bukan ketika menyejahterakan.

*Dimensi Keadilan Sosial*

Dalam teori keadilan John Rawls, _negara seharusnya berpihak pada kelompok paling rentan._ Dalam konteks Babel, kelompok itu adalah penambang rakyat. Jika penertiban hanya menghukum yang lemah dan melindungi yang kuat, maka kebijakan ini akan kehilangan legitimasi moral.

Hukum harus ditegakkan dengan adil. Tidak boleh ada kesan hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. *Satgas tambang harus membuktikan bahwa mereka berani menyentuh aktor besar di balik bisnis gelap timah.*

*Penutup*

Pesan Gubernur Babel sesungguhnya bukan hanya seruan moral, melainkan ujian politik. Apakah Babel berani melangkah ke arah transformasi ekonomi yang berkeadilan, atau hanya akan terjebak dalam siklus penertiban seremonial yang berulang?

Masyarakat menunggu bukti, bukan sekadar razia. Penertiban harus diiringi dengan solusi, keberanian politik, dan reformasi tata kelola. Jika ini diwujudkan, Babel bisa keluar dari kutukan sumber daya, dan menjadikan timah bukan hanya komoditas tambang, melainkan modal untuk masa depan yang berkelanjutan.

Inilah saatnya negara hadir bukan sekadar dengan larangan, tetapi juga dengan harapan. Tegas kepada mafia, humanis kepada rakyat—itulah kunci agar Babel benar-benar berdaulat atas timahnya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *