Bangka, kejarberita-news.com – Tiga pasangan calon Pilkada Bangka kompak melangkah ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bagi sebagian orang, ini langkah heroik.
Bagi sebagian lain, hanya simbol perlawanan. Pertanyaannya: apakah gugatan ini benar-benar punya nyawa hukum, atau sekadar manuver menjaga gengsi politik?
Secara hukum, MK bekerja dengan rumus yang tegas: ada ambang batas selisih suara, ada syarat bukti yang harus keras seperti data, bukan sekadar curhat politik.
Jika syarat itu tidak terpenuhi, peluang gugatan menang bisa dibilang tipis, bahkan nyaris nihil. Inilah sisi kaku hukum: ia tidak mengenal simpati, hanya fakta.
Namun politik tidak sesempit itu. Politik punya wajah lentur. Dengan menggugat ke MK, paslon yang kalah tetap bisa menjaga moral pendukung, mengirim pesan bahwa mereka tidak menyerah begitu saja, sekaligus menguji integritas penyelenggara Pilkada.
Gugatan yang secara hukum lemah pun bisa menjadi “vitamin politik” untuk menjaga soliditas basis.
Dari sisi rakyat, langkah ini bisa dimaknai sebagai ruang penyaluran kekecewaan. Pendukung tidak merasa ditinggalkan, karena perjuangan tetap dilanjutkan hingga ke meja hakim.
Walau hasilnya mungkin tak mengubah peta, tapi secara psikologis, ini meredam gejolak di akar rumput.
Maka, gugatan ke MK harus dibaca dengan dua kacamata. Di meja hukum, ia mungkin tak punya daya dobrak.
Tetapi di panggung politik, ia adalah strategi jangka panjang: membangun citra sebagai pejuang demokrasi, bukan pecundang politik.
Demokrasi bukan hanya tentang siapa yang menang, tapi bagaimana proses dijaga. Kalau hukum itu kaku, maka politik selalu lentur.
Dan di antara keduanya, rakyatlah yang menilai: mana yang sungguh memperjuangkan, dan mana yang hanya berpura-pura berjuang.
Oleh: Ujang Supriyanto (Ketua Simpul Babel & Karang Taruna Kab Bangka)