Feature, kejarberita-news.com – Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa babi menjadi salah satu hewan yang diharamkan dalam Islam? Pertanyaan itu membawa kita jauh ke sebuah kisah lama, saat bumi dilanda banjir besar pada zaman Nabi Nuh.
Bayangkan sebuah bahtera raksasa yang terapung di tengah lautan luas. Di dalamnya, Nabi Nuh bersama para pengikutnya dan berpasang-pasang hewan dari berbagai jenis. Ada kambing, sapi, unta, kuda, ayam, hingga hewan liar semua hidup berdampingan dalam kapal kayu yang menjadi satu-satunya tempat aman kala itu.
Awalnya semua berjalan baik. Hewan-hewan makan, minum, dan bergerak seperti biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul masalah besar: kotoran yang menumpuk. Bau menyengat memenuhi ruangan, lalat bertebaran, dan penyakit mulai mengintai. Bahtera yang seharusnya menjadi penyelamat justru terancam menjadi sumber bencana baru.
Dalam kondisi genting itu, Nabi Nuh berdoa. Ia memohon jalan keluar agar kehidupan di bahtera tetap terjaga. Doa itu dijawab dengan cara yang tak terduga. Menurut riwayat-riwayat kuno, Allah menciptakan dua makhluk baru: tikus dan babi.
Tikus ditugaskan untuk memakan sisa makanan agar tidak membusuk. Sementara babi hadir untuk membersihkan kotoran yang menumpuk. Dengan sifat rakusnya, hewan itu melahap apa saja yang ada di hadapannya, bahkan sesuatu yang tak sanggup disentuh hewan lain.
Para penumpang bahtera terkejut, tetapi lambat laun menyadari: tanpa kehadiran hewan itu, mereka mungkin tidak akan selamat dari ancaman penyakit. Bahtera kembali bersih, udara bisa dihirup lega, dan kehidupan berlanjut hingga banjir surut.
Dari sinilah kita belajar bahwa setiap ciptaan memiliki fungsi. Babi, meski kelak diharamkan untuk dimakan, pada masa itu berperan penting sebagai penyelamat. Tidak ada ciptaan Allah yang hadir tanpa tujuan.
Namun, setelah banjir besar itu berakhir, Allah menurunkan ketentuan yang jelas bagi umat manusia. Dalam Al-Qur’an, larangan memakan babi disebutkan tegas, salah satunya dalam Surah Al-Baqarah ayat 173:
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang,” (Al-Baqarah: 173).
Ayat ini menegaskan bahwa larangan bukanlah sekadar aturan tanpa makna. Ada hikmah besar di baliknya. Babi diciptakan dengan sifat yang tidak mengenal jijik. Ia memakan apapun, bahkan kotorannya sendiri. Sifat inilah yang menjadikannya tidak layak untuk dikonsumsi manusia.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, terbukti bahwa daging babi memang membawa banyak resiko kesehatan, mulai dari cacing pita hingga berbagai penyakit. Maka larangan itu adalah bentuk kasih sayang dan perlindungan Allah bagi hamba-Nya.
Kisah babi di Bahtera Nabi Nuh bukan sekadar cerita kuno. Ia adalah pengingat, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan, dan setiap larangan yang ditetapkan-Nya mengandung hikmah demi kebaikan manusia.